Sikap kepada Pemimpin & Meraih Kursi Kepemimpinan dengan Cara Curang
Oleh: Habib Umar bin Hafidz
Bismillāhirraḥmānirraḥīm.
Segala puji bagi Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad ﷺ, kepada keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau hingga akhir zaman.
1. Pentingnya Menjaga Kelayakan dalam Kepemimpinan
Sebagai penjelasan bagi masyarakat, hal pertama yang harus kita sadari adalah memperbaiki keadaan diri dan kondisi umat. Kita tidak boleh membuka peluang jabatan atau kedudukan bagi orang-orang yang tidak memahami agama dan tidak memiliki kemampuan dalam metode, penyampaian, maupun arah yang benar.
Kepemimpinan dalam Islam bukan hanya perkara administratif, tetapi juga amanah yang membutuhkan ilmu, keahlian, dan pemahaman mendalam terhadap hukum syariat. Karena itu, urusan-urusan yang menyangkut hukum, syariat, atau solusi terhadap permasalahan umat tidak boleh diserahkan kepada orang yang tidak memenuhi kualifikasi tersebut. Orang yang tidak berilmu bisa saja menimbulkan kerusakan besar karena berbicara tanpa pemahaman.
2. Pemimpin yang Melanggar Syariat
Bagaimana bila seorang pemimpin berbuat atau memutuskan sesuatu yang bertentangan dengan syariat?
Habib Umar menjelaskan bahwa dalam hal ini kita harus mengikuti cara Rasulullah ﷺ dalam menghadapi pemimpin seperti itu. Nabi bersabda bahwa di antara umat beliau akan muncul para pemimpin — ada yang baik dan adil, tetapi juga ada yang menyimpang dan berbuat zalim.
Terhadap pemimpin yang adil, kita diperintahkan untuk bersyukur dan taat dalam kebaikan. Namun terhadap pemimpin yang zalim, kita diperintahkan untuk bersabar, memberi nasihat dengan cara yang baik, tanpa memberontak atau menimbulkan kerusakan yang lebih besar.
3. Adab dalam Mencari Kekuasaan
Rasulullah ﷺ bersabda bahwa kepemimpinan adalah amanah, dan pada hari kiamat ia akan menjadi penyesalan bagi sebagian orang. Karena itu, mencari kekuasaan dengan niat duniawi atau dengan cara curang adalah perbuatan tercela.
Namun, apabila seseorang memiliki kemampuan untuk menegakkan keadilan dan memperbaiki keadaan umat, maka diperbolehkan baginya menerima amanah kepemimpinan — dengan syarat:
-
Ia tidak mencari jabatan itu karena hawa nafsu, tetapi karena tanggung jawab.
-
Ia tidak menggunakan cara yang batil atau merugikan orang lain untuk meraihnya.
-
Ia tetap berpegang pada syariat dan aturan yang sah.
Kekuasaan bukan hadiah atau kehormatan pribadi, melainkan ujian dan tanggung jawab di hadapan Allah. Orang yang mencari jabatan dengan tipu daya atau kezaliman akan dimintai pertanggungjawaban berat di akhirat.
4. Tanggung Jawab Pemimpin di Hadapan Allah
Setiap pemimpin — baik pemimpin negara, wilayah, lembaga, atau komunitas — akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah atas rakyat dan amanah yang ia pimpin. Tugas utama pemimpin adalah menjaga agama, menegakkan keadilan, dan menghindarkan umat dari kesalahan.
Bila di suatu tempat umat Islam tidak dapat menjalankan ajaran agamanya karena pemimpin mereka menghalangi, maka kaum Muslimin berhak berupaya mencari pemimpin yang dapat menjaga agama mereka. Bahkan, dalam kondisi tertentu, hal itu bisa menjadi kewajiban.
5. Larangan Ambisi terhadap Jabatan
Dalam hadis sahih disebutkan:
“Barang siapa yang meminta jabatan, maka ia akan diserahkan (tidak diberi pertolongan), namun barang siapa yang dipaksa memegang jabatan, maka Allah akan menolongnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)Artinya, seseorang tidak seharusnya berambisi atau terobsesi menjadi pemimpin. Namun, jika ia ditunjuk karena kelayakan dan dipaksa menerima amanah demi kemaslahatan umat, maka Allah akan menolongnya dalam menjalankan tugas tersebut.
Sayyidina Umar bin Khattab r.a. memberikan contoh dalam hal ini. Ketika beliau mengangkat para wakil di berbagai wilayah, banyak di antara mereka menolak jabatan tersebut karena takut tidak mampu menunaikannya dengan baik. Namun Umar berkata:
“Apakah kalian ingin aku menanggung semua ini sendirian? Tolong bantu aku dengan menerima amanah ini.”
Demikian pula Sayyidina Abu Hurairah r.a., setelah diangkat menjadi pejabat di suatu wilayah, datang kembali kepada Sayyidina Umar dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, jangan tugaskan aku lagi menjadi pemimpin. Saat pertama aku menolak, aku dipaksa, tapi setelah menjabat, aku mulai merasa nyaman dan khawatir hatiku mencintai jabatan itu.”
Ini menunjukkan bahwa seorang mukmin sejati tidak haus kekuasaan, bahkan ia takut terhadap amanah kepemimpinan karena beratnya tanggung jawab di hadapan Allah.
6. Menasihati Pemimpin dengan Adab
Habib Umar menegaskan: bila kita memiliki kesempatan memberi nasihat kepada pemimpin, maka lakukanlah dengan adab, kelembutan, dan cara yang benar. Jangan mencaci, menghasut, atau menimbulkan fitnah.
Kita diperintahkan untuk menasihati pemimpin, bukan menjatuhkan mereka. Dan kita tidak boleh menaati pemimpin dalam hal yang jelas-jelas bertentangan dengan perintah Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā.
7. Penutup
Kepemimpinan dalam Islam adalah amanah besar. Seorang pemimpin bukanlah orang yang mencari kehormatan, tetapi orang yang siap memikul tanggung jawab demi kemaslahatan umat. Maka dari itu:
- Jangan mencari jabatan dengan cara curang.
- Jangan menolak amanah jika memang umat membutuhkan dan kita mampu menegakkan keadilan.
- Nasihati pemimpin dengan cara yang baik.
- Dan jangan pernah menaati pemimpin dalam maksiat kepada Allah.
Semoga Allah menjadikan para pemimpin kita orang-orang yang adil, bijaksana, dan takut kepada-Nya.
Āmīn yā Rabbal ‘ālamīn.
0 Comments