IT.Bima – Dalam tatanan rumah tangga Islam, Allah ﷻ telah menetapkan garis tanggung jawab yang tegas: "Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…" (QS. An-Nisa: 34).
Ayat ini bukan sekadar susunan kata, tapi prinsip yang mengandung kehormatan, beban, dan keberkahan.
Namun zaman telah berubah—dan tidak semuanya berubah ke arah yang ideal. Hari ini, kita menyaksikan potret rumah tangga yang ganjil: suami duduk di rumah, istri banting tulang. Suami tidak sakit, tidak uzur, tidak pula ditimpa musibah. Tapi memilih diam. Dan ironinya, masyarakat kadang memaklumi, bahkan membungkusnya dengan kalimat "demi kebersamaan".
Nafkah Itu Tanggung Jawab, Bukan Pilihan Dalam sebuah video ceramah di kanal Al Bahjah TV berjudul "Istri Mencari Nafkah - Buya Menjawab", Buya Yahya menjawab pertanyaan tentang fenomena ini. Dalam video berdurasi 10 menit 57 detik itu, beliau menyampaikan bahwa laki-laki yang sehat dan tidak uzur, namun membiarkan istrinya bekerja sendiri, tidak layak disebut sebagai laki-laki.
Keras? Mungkin. Tapi bukan tanpa dasar. Buya Yahya menegaskan bahwa tanggung jawab suami untuk menafkahi istri adalah beban syar’i yang tidak boleh digadaikan, kecuali dalam kondisi uzur yang dibenarkan, seperti sakit berat atau kesulitan ekonomi meski telah berusaha maksimal.
Rasulullah ﷺ Menawarkan Solusi, Bukan Penyesalan Dalam sebuah riwayat, dikisahkan seorang wanita datang mengadu kepada Rasulullah ﷺ. Ia mencari nafkah, sementara suaminya tidak bekerja. Rasulullah ﷺ dengan bijak menawarkan dua pilihan:
- Wanita itu boleh meminta cerai. Sebab tidak sah seorang laki-laki menikahi wanita lalu tidak menafkahinya.
- Atau tetap menafkahi, dan bersabar, karena Allah ﷻ akan membalasnya dengan tiga pahala besar.
Apa saja pahala itu?
- Pahala karena menyenangkan hati suaminya,
- Pahala memberi rezeki kepada keluarga,
- Pahala menjaga silaturahmi dengan anak-anak.
Refleksi: Di Mana Letak Kehormatan Laki-Laki? Pertanyaan paling mendalam dari semua ini bukan tentang hukum, tapi tentang kehormatan. Bukankah salah satu kebanggaan laki-laki adalah ketika ia bisa berkata, "Aku memberi makan keluargaku dari hasil kerja keras tanganku sendiri"?
Mengapa kita tergesa menyerahkan tanggung jawab itu pada istri, lalu merasa tak berdosa ketika hanya duduk dan menunggu?
Islam tidak melarang wanita bekerja. Tapi Islam tidak pernah menurunkan tanggung jawab nafkah dari pundak laki-laki. Istri boleh membantu, tapi tidak untuk menggantikan seluruh beban.
Mari Menjadi Laki-Laki yang Bertanggung Jawab Sebagai umat Nabi Muhammad ﷺ, marilah kita kembali pada prinsip yang diajarkan Rasulullah ﷺ. Tanggung jawab adalah kemuliaan. Mencari nafkah bukan sekadar urusan dapur dan listrik, tapi bukti cinta dan amanah.
Jika kita suami, dan sehat, dan mampu, maka bekerja dan menafkahi keluarga bukan hanya kewajiban. Itu jalan menuju surga.
Dan jika kita istri yang sedang menanggung beban lebih, maka tetaplah yakin: setiap peluhmu, setiap langkahmu, setiap rupiah yang engkau keluarkan, Allah ﷻ melihat semuanya—dan tidak ada yang sia-sia.
Semoga rumah tangga kita semua dijaga oleh Allah ﷻ, dikuatkan dengan cinta yang bertanggung jawab, dan diberkahi dengan rezeki yang halal lagi tayyib.
0 Comments