Header Ads Widget

+ Ikuti

Klarifikasi dan Harapan Guru PAI SMA Negeri Harekakae: Menyambut Hari Santri dengan Hati yang Tenang

Sebelumnya saya menulis sebuah opini yang berangkat dari pengalaman pribadi sebagai guru Pendidikan Agama Islam di SMA Negeri Harekakae. Tulisan itu berisi kegelisahan saya mengenai posisi siswa muslim di sekolah umum dalam kaitannya dengan pelaksanaan Apel Hari Santri 2025. Saya menulis karena terus terang, tahun lalu ada pertanyaan yang datang dari siswa: “Pak, nanti kita ikut apel Hari Santri atau tidak?”

Pertanyaan sederhana itu ternyata tidak mudah saya jawab. Kenapa? Karena dari tahun sebelumnya, belum ada pola informasi yang jelas apakah siswa muslim di sekolah negeri memang diundang secara resmi untuk ikut apel, atau hanya cukup memperingati Hari Santri dengan cara lain di sekolah masing-masing.

Baca Juga:

Kebingungan Tahunan: Apakah Siswa Muslim SMA Negeri Harekakae Ikut Apel Hari Santri 2025?

Tulisan itu ternyata menuai beragam tanggapan. Ada yang memberi masukan dengan nada keras agar saya berhati-hati menulis, ada pula yang dengan sabar menjelaskan teknis koordinasi di lapangan. Saya membaca semua tanggapan itu dengan hati terbuka. Saya sadar, sebagai seorang pendidik, saya pun harus belajar, termasuk belajar memahami alur birokrasi yang mungkin sebelumnya belum saya pahami secara utuh.

Maka di sini, saya ingin memberikan klarifikasi. Tulisan saya sebelumnya sama sekali tidak dimaksudkan untuk menyalahkan Kementerian Agama, Bimas Islam, ataupun pihak lain. Tidak ada sedikit pun niat untuk merusak citra atau kinerja lembaga. Saya menulis murni dari sudut pandang seorang guru di sekolah umum yang ingin memastikan bahwa siswa-siswi muslim juga mendapat ruang dalam peringatan Hari Santri.

Saya menyadari bahwa Hari Santri secara historis memang sangat dekat dengan pesantren dan madrasah. Di sanalah tradisi santri tumbuh dan berkembang. Namun, bagi saya pribadi, nilai-nilai perjuangan santri adalah milik semua. Bukankah santri adalah simbol kebangkitan dan pengorbanan umat Islam dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa? Bukankah semangat itu seharusnya bisa diwariskan juga kepada anak-anak muslim yang belajar di sekolah negeri?

Di sinilah letak kegelisahan saya. Ketika siswa-siswi muslim di SMA Negeri Harekakae menatap saya dengan penuh tanya tentang apakah mereka akan ikut apel Hari Santri, saya merasa bertanggung jawab untuk memberikan jawaban yang pasti. Tapi tanpa undangan resmi, tanpa instruksi yang jelas, jawaban saya pun sering hanya sebatas “kita tunggu informasi lebih lanjut.” Jawaban yang terasa menggantung, dan tentu tidak memuaskan bagi anak-anak yang haus akan kepastian.

Saya teringat pengalaman tahun sebelumnya. Saat itu saya berharap undangan datang dari Kemenag Kabupaten Malaka atau langsung dari Bimas Islam. Tapi ternyata informasi yang sampai justru lewat Kepala MTs Al-Qadr Betun. Saya pribadi sempat heran: apakah memang jalurnya harus begitu? Ataukah sebenarnya ada koordinasi yang belum tersampaikan dengan rapi? Pengalaman itu yang membuat saya menulis opini dengan nada kebingungan, karena memang begitulah kenyataan yang saya alami di lapangan.

Namun setelah mendengar masukan dari berbagai pihak, saya mulai lebih memahami. Bahwa pelaksanaan apel biasanya memang terkoordinasi lewat madrasah atau lembaga yang ditunjuk. Bahwa sekolah umum tidak selalu menerima undangan langsung, kecuali jika ada kebijakan khusus di daerah. Pemahaman ini tentu menenangkan hati saya, karena sekarang saya bisa menjelaskan kepada siswa bahwa jalur koordinasi memang demikian adanya.

Bagi saya, menulis adalah bagian dari cara mendidik. Sama seperti mengajar di kelas, menulis adalah ruang refleksi, tempat saya menuangkan keresahan agar menjadi bahan renungan bersama. Dan kalaupun ada kekeliruan, saya yakin itu bukan kesalahan yang lahir dari niat buruk, melainkan dari keterbatasan informasi. Maka saya berterima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang sudah meluruskan dengan penuh kepedulian.

Ke depan, saya berharap ada jembatan komunikasi yang lebih kuat antara Kemenag dan sekolah umum, khususnya terkait peringatan Hari Santri. Tidak harus selalu berupa undangan formal yang kaku, cukup surat edaran atau pemberitahuan yang sampai langsung ke kepala sekolah, agar kami para guru bisa menyiapkan siswa muslim dengan baik.

Saya percaya, Hari Santri adalah milik kita bersama. Tidak hanya untuk pesantren, tidak hanya untuk madrasah, tetapi juga untuk seluruh umat Islam di mana pun mereka berada. Bahkan lebih dari itu, Hari Santri bisa menjadi ruang kebersamaan bagi bangsa, sebab di balik perjuangan para santri, ada nilai universal: pengorbanan, cinta tanah air, dan kesetiaan kepada negara. Nilai-nilai ini penting diwariskan kepada seluruh siswa, baik yang bersekolah di madrasah maupun di sekolah negeri.

Sebagai penutup, saya ingin menegaskan sekali lagi: tulisan saya sebelumnya bukan kritik yang dimaksudkan untuk menyerang. Itu hanyalah suara seorang guru di pelosok, yang ingin siswanya tidak merasa terpinggirkan dari momen penting bernama Hari Santri. Jika ada kata yang kurang berkenan, saya mohon maaf sebesar-besarnya.

Mari kita jadikan Hari Santri 2025 sebagai momentum kebersamaan. Semoga semangat para santri terdahulu mampu menyalakan api perjuangan di hati anak-anak kita hari ini, baik mereka yang belajar di pesantren, di madrasah, maupun di sekolah negeri seperti SMA Negeri Harekakae. Karena pada akhirnya, kita semua adalah bagian dari bangsa yang sama, yang sedang berjuang menuju peradaban dunia.

ditulis oleh Muhamad Munir, S.Pd.I., Gr.
Guru Pendidikan Agama Islam, SMA Negeri Harekakae.

Post a Comment

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

0 Comments

BLOG INI MENAMPILAN TULISAN LAYAK BACA YANG MEMUAT BERBAGAI MACAM ILMU DAN INFORMASI TERKINI DAN TERAPDATE, JANGAN LUPA KLIK TOMBOL BERLANGGANA UNTUK MENDAPATKAN NOTIFIKASI POSTINGAN TERBARU. TERIMAKASIH...!