Ketika Nilai Lebih Penting dari Nalar
Di negeri yang katanya menjunjung tinggi pendidikan ini, sekolah sudah menjelma menjadi pabrik nilai. Siswa bukan lagi manusia pembelajar, melainkan produk massal yang harus sesuai standar—dengan label “kompeten” meski kadang belum tahu bedanya opini dan fakta. Tak masalah tak paham, yang penting angkanya dua digit dan rapornya berwarna hijau.
Orang tua pun mendukung. Mereka ingin anak-anaknya lulus dengan nilai sempurna, agar bisa diterima di sekolah favorit, masuk universitas top, dan akhirnya… bekerja di tempat yang membuat mereka lupa apa gunanya belajar dulu. Pendidikan jadi tiket sosial, bukan jalan mencari kebenaran.
Sementara itu, sistem hanya mengaminkan. Ujian? Oke. Akreditasi? Wajib. Evaluasi? Formalitas. Di tengah semua itu, substansi pelajaran pelan-pelan terkikis. Yang tertinggal hanyalah ritual tahunan bernama kelulusan, yang semakin jauh dari makna pembelajaran.
Sekolah: Tempat Belajar Nilai, Bukan Ilmu
Sekolah kini lebih mirip arena sirkus. Siswa sibuk meloncat dari satu mata pelajaran ke mata pelajaran lain, dengan guru sebagai pawang yang harus membuat semuanya tampak menarik meski waktu dan energi terbatas. Jadwal padat, tugas menumpuk, dan ruang kelas yang sesak jadi warna sehari-hari.
Sayangnya, dari semua kegiatan itu, yang benar-benar dipelajari bukanlah ilmu, melainkan cara bertahan. Bertahan dari tekanan tugas, tekanan orang tua, tekanan ranking. Maka jangan heran jika siswa yang paling pintar bukan yang paling mengerti, tapi yang paling cepat mencari bocoran soal di grup WhatsApp.
Sekolah pun semakin bergantung pada ujian. Padahal, banyak yang diuji bukanlah kemampuan berpikir, tapi kemampuan menghafal. Esai diganti pilihan ganda, diskusi digantikan presentasi template. Yang penting selesai. Hasil? Nomor sekian.
Guru: Pejuang yang Terlalu Sering Terlupakan
Guru sering disebut pahlawan tanpa tanda jasa, tapi lebih tepat disebut pahlawan dengan banyak tuntutan dan sedikit penghargaan. Mereka harus mengajar, mendidik, membimbing, menilai, mengisi laporan, menyusun RPP, ikut pelatihan daring, dan kadang jadi panitia 17-an juga. Satu orang, seribu peran.
Gaji guru honorer? Cukup untuk hidup… kalau hidupnya hemat dan tidak punya keluarga. Tapi jangan salah, mereka tetap semangat, karena katanya mengajar itu panggilan jiwa. Walau kadang jiwa itu nyaris menyerah saat SPJ honor ditolak hanya karena stempel miring.
Dan ketika kurikulum berubah, guru harus ikut berubah. Mau tidak mau, suka tidak suka. Tak peduli apakah pelatihannya memadai, yang penting ada sertifikat. Karena di dunia pendidikan, kadang formalitas lebih penting daripada kompetensi.
Siswa: Terampil Menghafal, Gagap Bertanya
Siswa kita luar biasa. Mereka tahu rumus luas limas, tapi tak tahu cara bicara sopan di forum publik. Mereka hafal nama tokoh-tokoh sejarah, tapi bingung menjelaskan kenapa sejarah penting. Karena pendidikan kita mengajarkan isi buku, tapi lupa mengajarkan cara membaca realitas.
Tekanan demi tekanan membuat mereka kehilangan waktu bermain, waktu berimajinasi, bahkan waktu untuk menjadi remaja biasa. Di usia belasan, mereka harus sudah pandai menyusun portofolio, ikut olimpiade, dan mencetak prestasi demi menambah nilai rapor.
Dan saat mereka stres, jawabannya sederhana: “Wajar, itu proses.” Padahal kadang proses itu tak sehat. Pendidikan seharusnya membentuk karakter, bukan mencetak angka. Tapi di tengah budaya kompetisi, karakter sering jadi korban pertama.
Kurikulum: Ganti Nama, Ganti Format, Ganti Harapan
Setiap menteri datang dengan semangat baru dan kurikulum baru. Padahal masalah lama belum selesai. Tapi tak apa, yang penting terlihat inovatif. Gonta-ganti kurikulum dianggap kemajuan, meski kadang lebih mirip kebingungan nasional.
Guru kebingungan, siswa kebingungan, orang tua kebingungan—tapi sistem tetap jalan. Modul baru dicetak, workshop digelar, seminar online dibanjiri peserta. Kurikulum belum matang, tapi sudah diterapkan. Yang penting keren dulu, dampaknya belakangan.
Dan ironisnya, di tengah jargon “merdeka belajar”, justru semakin banyak beban yang ditanggung. Siswa harus mandiri, guru harus inovatif, tapi dukungan nyata sering tak ada. Seolah-olah kemerdekaan belajar berarti: “Silakan cari jalan sendiri, kami hanya fasilitator.”
Kita Mau Cetak Manusia atau Mesin?
Akhirnya, kita harus bertanya: pendidikan ini mau ke mana? Apakah kita ingin mencetak manusia yang berpikir atau hanya robot pengisi formulir? Apakah kita ingin anak-anak berani bertanya atau sekadar patuh mengisi LJK?
Pendidikan bukan tentang siapa yang paling cepat menghafal, tapi siapa yang paling dalam memahami. Bukan tentang siapa yang paling banyak nilai A, tapi siapa yang bisa menjadi manusia bermakna. Dan itu tidak bisa dicapai dengan sistem yang hanya mengejar angka.
0 Comments