Siswa kelas XII adalah makhluk paling berpengalaman di ekosistem sekolah. Mereka telah melewati masa-masa penuh semangat di kelas X, masa pencarian jati diri di kelas XI, dan akhirnya memasuki masa "penyamaran spiritual" di kelas XII. Di sinilah mereka menguasai teknik tertinggi: berpura-pura tidak melihat guru. Kalau guru datang dari depan, mereka menoleh ke belakang. Kalau guru dari belakang, mereka tiba-tiba terpaku menatap titik tak jelas di kejauhan, seolah sedang merenungkan nasib bangsa.
Lebih hebat lagi, mereka punya "radar sensorik" terhadap situasi yang berpotensi membawa tugas. Jika guru melangkah dengan map di tangan, suasana kelas seketika berubah jadi museum: hening, tegang, penuh ekspresi khawatir. Ada yang buru-buru ke toilet, ada yang pura-pura tidur (dengan napas diatur agar terdengar damai), dan ada pula yang tiba-tiba menjadi relijius, membaca doa khusyuk agar tak dipanggil ke depan.
Pura-pura sibuk jadi jurus pamungkas. Sebagian dari mereka mendadak jadi aktivis sosial media yang sibuk membaca "artikel motivasi" padahal sedang scroll TikTok. Yang lain tiba-tiba menulis sangat serius di buku tulis, meski kalau dibaca isinya cuma: "Ya Allah, selamatkan aku dari tugas hari ini." Lucunya, keahlian menghindar ini tak pernah diajarkan di kelas, tapi dipelajari dengan sangat cepat lewat praktik langsung dan warisan budaya antar angkatan.
Ketika ditanya kenapa begitu, jawabannya klise tapi penuh makna: “Kami lagi banyak pikiran, Bu. Fokus ke UTBK.” Tapi anehnya, ketika ada jadwal piknik atau acara perpisahan, semua pikiran mendadak ringan, senyuman kembali cerah, dan semangat muncul tanpa disuruh. Rupanya, tekanan belajar bisa dikalahkan oleh wacana jalan-jalan. Sungguh potensi luar biasa yang sayangnya belum dimanfaatkan secara maksimal oleh kurikulum.
0 Comments