![]() |
Drs. Markus Hale dalam Ruang Kerja Wakasek Urusan Kurikulum SMA NEGERI HAREKAKAE |
Sangat kompleks ukurannya kedewasaan yang harus dicapai peserta didik, bukan cuma mengukur dengan kemampuan kognitif seorang peserta dianggap sudah mencapai kedewasaan, tetapi masih banyak faktor lain yang menjadi indikator untuk mengukur kedewasaan seorang peserta didik.
Jangan lupa bahwa masih sederetan aspek yang terintegrasi dalam diri seorang yang sangat menentukan kedewasaannya. Memang UU Sisdiknas tidak secara eksplisit menyebut terminologi dewasa, namun pasal 3 nya menyebutkan ciri-ciri yang bisa ditafsirkan sebagai indikator kedewasaan.
- Beriman kepada Tuhan menurut agama yang dianutnya.
- Berakhlak mulia
- Sehat jasmani dan psikis.
- Berilmu
- Cakap
- Kreatif
- Mandiri
- Demokratis
- Bertanggungjawab, dan
- Kesetiakawanan.
Lembaga-lembaga pendidikan tidak cukup menetapkan target-target pencapaian kurikulum menurut versi masing-masing yang cenderung mengajar aspek akademis-intelektual semata. Apalagi sekolah-sekolah baru yang tumbuh menjamur di era sekarang ini dengan segala keterbatasannya, baik tenaga pendidik, sarana dan prasarana, maupun keuangan tentunya fokus perhatian pengembangan nilai-nilai dasar yang cenderung kurang menyentuh peserta didik dalam pembentukan karakternya serta kedewasaannya.
Padahal sekolah dengan visi misinya sangat jelas, yang intinya memanusiakan manusia. Namun dalam prakteknya sekolah kurang menekankan pendidikan yang mestinya mendewasakan peserta didik tetapi justru lebih cenderung mengejar target pencapaian kurikulum yang puncaknya peserta didik mendapatkan ijazah. Terkesan lembaga pendidikan hanya mengantar anak didik mencapai kesuksesan belajar dengan bukti ijazah yang diperolehnya. Sesungguhnya lebih daripada itu lembaga pendidikan mestinya mengantar peserta didik mencapai kesuksesan hidup di kemudian hari titik seperti pepatah latin yang sangat terkenal mengatakan: "Non School, send vitae discimus" (Artinya, kita belajar bukan semata-mata untuk mengejar prestasi akademis, tetapi untuk hidup.
Selain upaya keras yang dilakukan sekolah bagi anak didik dalam hal kecerdasan intelektual, seiring dengan itu sekolah berupaya maksimal agar peserta didik mencapai kedewasaan yang sangat nampak dalam penghayatan keagamaan, perwujudan akhlak, kecakapan hidup dan kreativitas, kemandirian serta tanggungjawabnya. Karena dengan terintegrasinya aspek-aspek tersebut dalam pribadi peserta didik sangat memperhatikan kedewasaan pribadinya.
Namun realitas dunia pendidikan dewasa ini cenderung mengejar prosentasi kelulusan tinggi secara kuantitas ketimbang kualitas kompetensi output. Mutu pendidikan benar-benar merosot, bukan karena keterbatasan sarana dan prasarana, tenaga pendidik, maupun keuangan tetapi justru kelemahannya terletak pada unsur pengelola dan pelaksanaan yang sering kali tidak konsekuen dan tidak konsisten dalam keputusan dan tindakan, malah lebih cenderung masuk dalam lingkaran setan demi mengamankan status quo, prestasi dan prestasinya dengan mengabaikan komitmennya tentang visi misi sekolah.
Untuk mengamankan instruksi atas segala macam cara dilakukan walaupun tidak halal untuk meloloskan peserta ujian. Tak terhindari kecurangan terus dilakukan dari tahun ke tahun, angkatan demi angkatan untuk menghadiahkan persen seratus kepada peserta ujian. Secara sadar justru dilakukan oleh pengelola dan penyelenggara pendidikan yang akibatnya mutu pendidikan dewasa ini merosot.
Hal yang tidak terpuji dilakukan sekolah dan unsur terkait lainnya demi memenangkan dukungan publik dan mempertahankan prestasi. Walau secara sadar harus mengorbankan peserta didik, dalam hal karakter dan intelektualitasnya. Konkritnya lembaga pendidikan telah melakukan dosa publik, yakni dengan tindakan pembodohan dan pembunuhan karakter generasi muda, yang sesungguhnya menjadi harapan keluarga, masyarakat dan bangsa Indonesia.
Dosa warisan ini berlanjut terus hingga kini dilakonkan oleh lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat SD sampai dengan SMA dan sederajatnya, yang mana terlihat pada keseriusan dan semangat belajar sangat menurun dan respon peserta didik terhadap proses pembelajaran sangat kurang, malah siswa dengan sikap santai dan sikap acuh tak acuh mengikuti proses pembelajaran di sekolah.
Implikasinya siswa semakin merosot perhatiannya terhadap pelajaran di sekolah. Di sisi lain guru semakin kurang dihargai dan kurang persiapan dirinya untuk menghadapi siswa di kelas, karena ia merasa tidak ditantang dengan pertanyaan siswa dalam proses pembelajaran. Kerap kali siswa menunjukkan perilaku yang kurang santun kepada guru dan malah melecehkan wibawa guru.
Karena keprihatinan penulis sungguh atas persoalan pelik yang melanda lembaga pendidikan ini, maka tulisan ini sengaja dipaparkan untuk menggugat, menggugah serta membangun kembali kesadaran semua pihak yang berkecimpung dalam dunia pendidikan (sekolah-sekolah), terutama rekan-rekan pendidik (guru), agar kembali menyadari bahwa kebenaran, kejujuran, keadilan harus ditegakkan dan citra guru harus diangkat kembali dan mutu pendidikan diperbaiki.
Lembaga pendidikan harus kembali membangun citranya, kembali ke jati dirinya yang sebenarnya. Dunia pendidikan harus dibebaskan dari masalah politik. Pendidikan tidak boleh terkontaminasi dengan masalah politik, tetapi harus berpedoman pada asas pendidikan serta berkomitmen dengan visi misi pendidikan. Dengan demikian yang pendidikan sungguh mendewasakan peserta didik dan menghantarnya untuk merengkuh sukses hidup masa depannya.
Harekakae, 17 Desember 2022
Drs. Markus Hale
Guru Senior SMA Negeri Harekakae
0 Comments