Dari Bogor ke Purdue: Kisah Perjalanan dan Prinsip Purbaya Yudhi Sadewa
Dari Kota Hujan Menuju Dunia
Sebuah percakapan santai diwarnai tawa dan nostalgia membuka kisah perjalanan seorang tokoh ekonomi Indonesia yang dikenal tajam, tenang, dan sarat pengalaman: Purbaya Yudhi Sadewa.
Ia lahir dan tumbuh di Bogor, bukan di tanah Batak sebagaimana sering disangka orang. “Saya orang Bogor, Pak. Ergenopasis Bogor,” katanya ringan. Logatnya pun mencerminkan percampuran budaya: Sunda, Jawa, dan sedikit Batak. “Campur-campur lah, Pak,” ujarnya merendah sambil tersenyum.
Bahasa Sunda pun masih ia pahami, “sekedik-sekedik,” ujarnya, menandakan akar lokal yang tak pernah putus meski langkahnya menembus batas negeri.
Dari ITB ke Dunia Perminyakan
Selepas SMA di Bogor, Purbaya melanjutkan studi ke Institut Teknologi Bandung (ITB) dan mengambil jurusan Teknik Elektro. “Harus kuat atau lemah?” tanya pewawancara, disambut jawabannya yang jenaka, “Harus lemah, Pak. Elektronika.”
Selepas ITB, ia terjun ke dunia kerja di sektor perminyakan. Lima tahun lamanya ia mengabdi sebagai field engineer di Schlumberger, perusahaan jasa minyak global. “Saya kumpulin duit buat sekolah,” tuturnya jujur. Ia mengaku sempat bosan di dunia lapangan, hingga akhirnya memutuskan menempuh studi ekonomi di Amerika Serikat.
Purdue University, Amerika: Dari Insinyur ke Ekonom
Dengan tabungan sendiri, ia melanjutkan studi ke Purdue University, Amerika Serikat—kampus yang juga melahirkan Neil Armstrong, manusia pertama yang menginjak Bulan. “Saya pilih yang paling ekonomis, Pak,” katanya. Bukan karena murah, melainkan karena ia sadar kemampuan finansialnya terbatas.
Ia menghitung matang-matang biaya kuliah. “Kalau sekolah mahal, setahun sudah pulang. Duitnya habis,” ujarnya lugas. Keputusan itu terbukti tepat—Purdue bukan hanya kampus ekonomis, tapi juga kampus bergengsi dunia.
Di sana, ia langsung melompat dari S1 ke S3 tanpa mengambil S2, karena pengalamannya di lapangan dianggap setara dengan pendidikan magister. “ITB dianggap lumayan, Pak. Jadi langsung diterima S3,” kenangnya.
Namun transisi dari dunia teknik ke dunia ekonomi bukan tanpa guncangan. “Saya pikir ekonomi itu gampang,” katanya jujur. “Begitu saya belajar, kapok saya, Pak. Tiga bulan pertama sudah mau keluar. Nggak ngerti-ngerti.”
Ia belajar siang malam. “Jam 8 sampai jam 12 malam,” katanya menggambarkan perjuangan yang keras di awal masa doktoralnya.
Disertasi dan Pemikiran Ekonomi
Topik disertasinya mencerminkan ketajaman analitis: “The Effect of Exchange Rate on FDI (Foreign Direct Investment)” — penelitian tentang hubungan nilai tukar dengan arus modal dan investasi langsung asing. “Modelnya masih bisa dipakai sampai sekarang,” katanya.
Pengetahuan itu kemudian menjadi dasar pemikirannya dalam kebijakan ekonomi nasional. “Masukan waktu zaman dulu juga ke Presiden Bapak,” ujarnya, merujuk pada perannya memberi pertimbangan dalam isu nilai tukar dan stabilitas ekonomi.
Dari Dana Reksa hingga Istana
Sekembalinya ke Indonesia, kariernya menanjak. Ia bergabung di Dana Reksa Research Institute selama 14 tahun, menjadi salah satu ekonom utama di lembaga tersebut. Tak hanya itu, ia juga mendampingi Hatta Rajasa selama lima tahun.
Pada tahun 2014, ia kemudian diminta membantu Presiden Joko Widodo di Kantor Staf Presiden (KSP). Ia mengakui, sempat menjadi sorotan karena dianggap “orangnya Hatta” yang kini masuk ke lingkaran Jokowi. Namun Purbaya menjawab tenang, “Kenapa takut? Yang penting bantu negara semaksimal mungkin di tempat yang mungkin.”
Warisan Akademik dan Nilai yang Ditanamkan
Ayah dan ibunya adalah dosen di IPB Bogor, keduanya kini telah wafat. “Jadi memang lingkungan akademik sudah jadi rumah sejak kecil,” katanya lirih. Dari orang tuanya ia mewarisi ketekunan, kerja keras, dan kerendahan hati—nilai yang tetap membentuknya hingga kini.
LPS dan Keunggulan Indonesia
Kini, Purbaya berkiprah di Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Ia menjelaskan dengan bangga bahwa hampir semua negara di dunia memiliki lembaga sejenis—sekitar 97 negara.
Namun Indonesia menempati posisi unik: penjaminan simpanan LPS termasuk yang terkuat di dunia. “Kita jamin sekitar 28 kali GDP per capita,” ujarnya. Bandingkan dengan negara lain yang hanya 6–8 kali.
Menariknya, LPS Indonesia bahkan menjamin simpanan dalam dolar Amerika maupun rupiah, termasuk milik orang asing. “Kalau Bapak naruh uang di Singapura, dolarnya nggak dijamin. Di sini, kami jamin,” katanya tegas.
Dengan gaya khasnya yang lugas dan sedikit menggoda, ia menambahkan:
“Kalau orang mau lariin uang ke Singapura, biar aja. Di sana uangnya nggak dijamin. Udah ada apa, mampus lo. Taruh uang di sini aja, saya jamin semuanya.”
Perbankan dan Dinamika Baru
Ia mengakui bahwa pada awal berdirinya LPS, banyak perbankan merasa terbebani karena dana penjaminan dianggap terlalu besar. Namun kini, situasinya berubah. “Sekarang keluhan itu nggak ada lagi,” ujarnya. “Karena mereka merasa untung dengan adanya LPS.”
Bahkan, menurutnya, dalam tiga hingga empat tahun terakhir, LPS telah berfungsi seperti “pengatur sinyal oligopolistik di perbankan” — menandakan peran strategis lembaga ini dalam menjaga keseimbangan dan stabilitas sistem keuangan nasional.
Menjaga Keseimbangan Sistem Keuangan
Dalam lanjutan perbincangan, Purbaya Yudhi Sadewa menjelaskan lebih dalam bagaimana Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) kini memainkan peran strategis dalam menjaga stabilitas dan efisiensi perbankan nasional. Ia berbicara dengan gaya khasnya—lugas, realistis, sedikit bercanda, namun penuh isi.
Menurutnya, kebijakan tingkat bunga penjaminan LPS yang ditetapkan pada angka tertentu — misalnya 4,25% — secara alami menahan bank-bank untuk tidak menyalurkan bunga simpanan yang terlalu tinggi. “Cost of capital mereka termaintained dengan rendah, sementara lending rate di sana,” ujarnya. Hasilnya, margin keuntungan bank tetap terjaga tanpa perlu bersaing secara berlebihan.
Dari Protes ke Apresiasi
Ketika ia pertama kali masuk ke LPS, sejumlah bank besar sempat protes keras. Mereka merasa dana yang disetor ke LPS terlalu besar. Namun kini, situasinya berbalik. “Sekarang mereka bilang, nggak apa-apa, pakai aja uangnya. Kami nggak akan minta sama sekali,” ujar Purbaya.
Kepuasan itu terlihat dari pertumbuhan keuntungan perbankan nasional. “BRI contohnya, untungnya naik dari 25 triliun ke 50 triliun lebih. Bank-bank besar lain juga sama,” ujarnya bangga.
Dengan gaya bercanda tapi tajam, ia menambahkan,
“Saya nggak bilang LPS berjasa atas kenaikan itu. Tapi mereka nggak bisa protes lagi sama saya. Kan gue yang bantu. Kalau nggak, mereka kompetisi, margin susah dijaga.”
Ia pun sadar kebijakannya itu bisa dianggap “dosa kecil” secara ekonomi. “Karena saya praktek oligopolitik, kan nggak boleh, Pak,” katanya sambil tertawa. Tapi, menurutnya, kondisi krisis menuntut keseimbangan. “Kalau cost of capital bank nggak sama, ekonomi nggak jalan. Jadi kita bantu banknya menjaga margin, ekonomi pun tetap bergerak.”
Iuran LPS dan Persepsi Perbankan
Perasaan “memiliki” yang dimiliki bank terhadap dana LPS wajar saja, sebab kontribusi tahunan mereka besar sekali. “Ada yang sampai satu triliun, ada yang ratusan miliar,” ujarnya. Namun, setelah memahami manfaatnya, suasana berubah total. “Sekarang kalau ketemu, ketawa-ketawa aja. Dulu protes, sekarang happy.”
Dalam pembukuan bank, iuran itu tercatat sebagai pengeluaran mandatori, mirip pajak wajib. “Detailnya saya kurang tahu, tapi kira-kira posisinya dekat situ,” katanya. Ia menegaskan, apa yang tampak mahal itu sebenarnya murah jika dibandingkan dengan kepercayaan dan ketenangan sistem keuangan yang dijaga oleh LPS.
“Untuk menjaga confidence sistem perbankan secara keseluruhan, itu murah,” katanya. “Apalagi bank bisa mengembangkan bisnis dengan tenang.”
Antara Regulasi dan Realitas
Salah satu isu penting yang dibahas adalah penempatan dana LPS. Saat ini, berdasarkan undang-undang, dana tersebut hanya boleh ditempatkan di Surat Berharga Negara (SBN), bukan di perbankan.
Padahal, secara teori ekonomi, memutar dana Rp270 triliun itu melalui sistem perbankan bisa memberi dampak ekonomi yang sangat besar. “Kalau saya pikir akan besar kalau saya putarkan di perbankan,” ujarnya, “tapi hanya di bank-bank terpercaya, systemic bank, sekitar 10 atau 15 besar.”
Namun, ia realistis: “Masalahnya undang-undang tidak mengizinkan. Dana LPS hanya bisa ditaruh di SBN.”
Purbaya mengakui, keterbatasan hukum itu punya sisi positif. “Kalau taruh di bank, kan seperti investasi. Kalau imannya orang-orang kita nggak kuat, bisa jeboh sana-sini,” ujarnya setengah bercanda, setengah serius. “Jadi untuk sementara nggak apa-apa dulu, sampai orang kita betul-betul kuat — imannya.”
Menuju 2030: Target 2,5 Persen Dana Pihak Ketiga
Salah satu target penting LPS adalah menjaga rasio dana terhadap total dana pihak ketiga (DPK) di sistem perbankan. Saat ini, kata Purbaya, dana LPS baru mencapai 1,9% dari total DPK nasional. Targetnya adalah 2,5%.
“Ketika sudah mencapai 2,5%, kita akan berhenti menarik uang dari perbankan,” jelasnya. Dengan begitu, bank memiliki ruang lebih besar untuk menyalurkan kredit ke masyarakat.
Ia memperkirakan target itu akan tercapai sekitar tahun 2030, bahkan mungkin lebih cepat. “Sekarang sudah 1,9. Naiknya cepat. Waktu saya masuk LPS, dananya cuma 130 triliun. Sekarang sudah tambah 100 triliun lebih hanya dalam empat tahun terakhir.”
Peningkatan itu menunjukkan dua hal: perbankan makin sehat dan ekonomi tumbuh solid. “Saya duga sebelum 2030 sudah tercapai 2,5 persen,” katanya yakin.
Ketika pewawancara mengucapkan selamat dan menyebutnya “big hope”, Purbaya cepat menimpali,
“Bukan hope, Pak. Itu calculated.”
Kalimat pendek itu menutup percakapan panjang dengan kesan kuat: di balik sikap santainya, Purbaya adalah sosok ekonom yang berhitung, berpikir jernih, dan memandang jauh ke depan.
Penutup
Dari Bogor yang lembab hingga Purdue yang dingin, dari dunia perminyakan hingga jantung kebijakan moneter nasional, perjalanan hidup Purbaya Yudhi Sadewa adalah cermin ketekunan, kejujuran, dan logika tajam khas ilmuwan yang tak berhenti belajar.
Ia membuktikan bahwa ekonomi bukan hanya soal angka, tetapi soal iman — pada sistem, pada negara, dan pada manusia yang menjaganya.


0 Comments